Disaat saya sedang sendirian, ada terlintas kalimat “Zaman sekarang nggak seperti zaman dulu, ya…”. Tahun 1990-an memang masa yang penuh kenangan. Masa itu teknologi belum terlalu dominan, untuk berinteraksi masih kebanyakan langsung, dan kebahagiaan terasa sederhana. Tapi di balik kerinduan itu, ada juga perasaan sedih antara ingin kembali ke masa lalu dan menghadapi realita disaat ini. Saya sadar bahwa masa kini dan masa itu tidak bisa disamakan, waktu terasa cepat berjalan.
Di tahun 90-an saya sering melihat anak-anak tetangga bermain petak umpet atau bola sampai maghrib, tanpa ada rasa orang tua khawatir. Nonton TV hanya bisa di ruang keluarga. Hari minggu merupakan hari yang sangat spesial karena pagi itu ada siaran “Doraemon”.
Teknologi? Tidak ada yang instan. Untuk mendengarkan musik saya selalu mendengarkannya hanya lewat Radio. Chatting? Tidak ada! Kalau pingin main kerumah teman, ya ketemu langsung, tidak ada chat chatan. Justru di situ letak kenangannya. Untuk memasakpun kami masih menggunakan kayu api, tidak semua toko ada menjual minyak tanah.
Saya sering sekali melihat youtube untuk mencari konten 90-an, lalu terlempar ke memori tentang pertama kali punya Walkman atau saat beli es mambo seharga Rp100. Jika ingin menghubungi keluarga jauh hanya ada 2 alternatif, kalo gag bikin surat atau nyari wartel.
Saya nggak mau jadi orang yang mengidealkan masa lalu. Sekarang pun ada banyak kemudahan: akses informasi tanpa batas dan kesempatan berkembang yang luas. Tapi ada harga yang harus dibayar: media sosial bikin kita ngeri-ngeri sedap, kerjaan gag karuan waktunya, dan terkadang ada rasa kesepian menghinggapi.
Dulu, pertemanan nggak perlu pamer kemewahan. Nongkrong di pinggir jalan sambil jajan bakso, ngobrolin guru galak atau besok mau kumpul dimana, itu sudah cukup. Sekarang, pertemanan sering terasa berbeda. Jika berkumpul yang di ceritakan paling dominan “Mobil kamu bagus ya”, “kamu kerja dimana, diperusahaan itu ya? Besar dong gajinya”. Jujur saya tidak nyaman.
Mungkin saya nggak bisa kembali ke era mixtape atau dimana surat cinta yang masih ditulis dengan tangan “sekarang surat cintanya di bikin sama AI”. Tapi saya sadar, 20 tahun lagi, mungkin akan merindukan tahun 2025 ini. Masa lalu sudah jadi kenangan; masa depan masih berjalan ntah kemana arah dan tujuannya. Yang saya tau “waktu tak akan pernah kembali” jadi jangan disia-siakan.